Minggu, 31 Maret 2019

PII (Persatuan Insinyur Indonesia) – Mengelola Air Bersih

NO. 02 W. 1 MARET 2016
DARI REDAKSI INSINYUR DAN AIR BERSIH

Kekeringan tidak hanya menjadi bencana langsung bagi para petani yang mengandalkan air untuk tanamannya, tapi juga bagi masyarakat urban. Seperti tahun lalu, kemarau yang panjang membuat turunnya ketersediaan air baku untuk air bersih warga.  Beberapa kawasan di Jakarta, misalnya, tidak bisa mendapatkan pasokan air bersih dari perusahaan penyedia air bersih. Bahkan, banyak rumah tangga, yang biasa mendapatkan pasokan dari air tanah, juga harus menerima kenyataan bahwa di tanahnya pun sudah tidak tersedia air.

Krisis air jangan lah dianggap sepele. Di masa depan, kelangkaan air, akan menyebabkan konflik yang luar biasa. Menurut data dari BPPT tahun 2000, ketersediaan air permukaan hanya cukup untuk memenuhi sekitar 23% kebutuhan penduduk. Defisit air di Jawa dan Bali sudah terjadi sejak 1995. Hal ini menjelaskan mengapa sering terjadi krisis air di beberapa daerah di Jawa dan Bali setiap musim kemarau tiba.

Pasokan air selalu menjadi kendala utama penyediaan air bersih di Indonesia.  Sebagian besar PDAM mengandalkan air baku dari air sungai untuk memasok air ke rumah tangga dan industri. Padahal kualitas sungai dan air sungai telah mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Apalagi keika musim kemarau panjang tiba, dipastikan ketersediaan air bersih untuk rumah tangga dan industri menyusut, bahkan terhenti.

Di masa mendatang, sangat tidak bijaksana untuk menggantungkan ketersediaan air bersih dengan mengandalkan air baku dari air sungai. Diperlukan inovasi teknologi untuk memberikan solusi dalam jangka panjang untuk memproduksi air bersih. Bukan hanya masalah distribusinya.

Para insinyur diharapkan mampu berperan dalam menghadang krisis dan konflik di masa depan dengan melakukan berbagai inovasi teknologi di bidang penyediaan air bersih untuk masyarakat. Salah satu teknologi yang sudah tersedia adalah Natural Treatment Plant (NTP) yang sudah banyak diterapkan di Jerman, yang menyadap air langsung dari akuifer di dalam tanah dan mendistribusikannya ke hilir. Beberapa keuntungan teknologi ini adalah tidak digunakannya bahan kimia untuk mengolah air minum dan tidak diperlukan pompa distribusi, karena letak reservoir ada di daerah tinggi (pegunungan).

Karena urgensinya, maka Engineer Weekly di awal Maret ini menyajikan berbagai masalah, dampak dan solusi ketersediaan air di Indonesia dengan beberapa artikel yang ditulis oleh ahli di bidangnya. Apapun inovasi teknologinya, yang paling penting adalah bagaimana inovasi itu dapat diterapkan, menjadi solusi, dan bermanfaat bagi masyarakat. Selamat membaca.

Aries R. Prima 
Pemimpin Redaksi

____________________________________________________________
EDITORIAL AIR BERSIH
Rudianto Handojo

Dalam rencana pembangunan infrastruktur dicantumkan bahwa pelayanan air minum di Indonesia pada 2019 harus sudah dapat menjangkau 100% penduduk Indonesia. Saat ini, masyarakat yang dapat dilayani masih di bawah 70%. Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat, paling tidak masih ada gap lebih dari 30%.

Untuk memenuhi pencapaian tersebut, pemerintah mencanangkan pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di perkotaan untuk 21,4 juta sambungan rumah (268.680 liter/detik) serta pembangunan SPAM di perdesaan sejumlah 11,1 juta sambungan rumah (untuk 22.647 desa). Ini adalah pekerjaan besar tetapi harus tercapai.

Di lain pihak, menurut the Economist World Figures in Pocket 2016, pencapaian 100 persen akses air bersih sebenarnya baru bisa diraih negara seperti Singapura dan Korea. Akses terbaik terhadap air bersih selanjutnya ada di, berturut-turut, Malaysia (99,6 %), dan (Brazil 97,5%). Beberapa negara tetangga kita seperti  Thailand (95,8%), Vietnam (95%), Philipina (91,8%), juga sudah memiliki akses air bersih yang baik. Sedangkan dua negara besar Asia yaitu India dan China, masing-masing, penduduknya mempunyai akses terhadap air bersih sebesar 92,6% dan 91,9%. Indonesia sendiri, menurut sumber informasi yang sama, baru 84,9% penduduk yang mempunyai akses terhadap air bersih. Artinya masih ada gap 15,1% menuju 100% di tahun 2019.

Lain lagi dengan laporan Unicef. Menurut lembaga ini, pada laporannya tahun 2014, persentase orang dengan akses ke sumber air yang baik di Indonesia telah meningkat dari 70 persen pada tahun 1990 menjadi 84 persen pada tahun 2011. Namun, situasinya tidak seragam, akses di daerah pedesaan (76 persen) lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan (93 persen). Orang-orang miskin juga mempunyai akses air bersih yang rendah.

Secara global, lebih dari tiga perempat miliar orang, sebagian besar adalah penduduk miskin, masih tidak memiliki akses terhadap air yang aman, meskipun terdapat fakta bahwa rata-rata sudah memenuhi target global untuk air minum yang ditetapkan dalam Millenium Development Goals (MDGs). Target MDG untuk air minum sudah dicapai pada tahun 2010, ketika 89 persen dari populasi global memiliki akses ke sumber air minum - seperti pasokan pipa, sumur bor dilengkapi dengan pompa, dan sumur yang terlindungi.

Unicef juga memerkirakan bahwa 1.400 anak di bawah lima tahun meninggal setiap hari karena penyakit diare terkait dengan kurangnya air bersih dan sanitasi serta kebersihan yang memadai .  Dunia diharapkan tidak pernah berhenti membangun akses air bersih sampai setiap pria, wanita dan anak memiliki air dan sanitasi layak. Yang mungkin mengejutkan, adalah bahwa bahkan di negara-negara berpenghasilan menengah ada jutaan orang miskin yang tidak memiliki air bersih untuk diminum. Target harus ditetapkan pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan yang paling sulit dijangkau, yang paling miskin dan yang paling dirugikan.

Situasi tersebut menggambarkan salah satu tugas insinyur untuk terus mengembangkan ketersediaan air bersih secara berkelanjutan serta mengalirkannnya ke seluruh lapisan masyarakat dan mendistribusikannya secara merata. Karena pentingnya hal ini, dalam kepengurusan pusat PII tahun 2015-2018, kegiatan mengenai air ini ditangani oleh dua bidang, yaitu bidang Sumber Daya Air dan bidang Distribusi Air. Paling tidak ini menggambarkan perhatian pada masalah air sebagai bentuk tanggung jawab profesional maupun tanggung jawab sosial  pada masyarakat di sekitar kita, seperti yang termaktub dalam tujuan pengembangan keprofesian berkelanjutan pada UU No 11 tahun 2014 tentang keinsinyuran.
Air Bersih dan Permasalahannya
Samsuhadi Samoen
Tersedianya air bersih yang cukup bagi kebutuhan sehari hari adalah suatu hal yang sangat penting. Akan tetapi ketersediaan air bersih untuk beberapa tahun belakangan ini tidak selalu mudah. Kira-kira, 30-50 tahun yang lalu, Jika membangun rumah yang lokasinya belum terjangkau oleh air ledeng, maka dengan menggali sumur 8-10 meter, air akan keluar dengan mudahnya melalui pompa tangan. Kini dengan bertambahnya penduduk dan berbagai aktivitasnya, menyebabkan pula kenaikan kebutuhan air bersih, sehingga penyediaan air bersih menjadi masalah. Kehandalan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) dalam mengelola air bersihpun semakin menurun.

Sebagai akibat dari rendahnya kemampuan PDAM, mendorong pemanfaatan air tanah secara luas oleh masyarakat. Ekstraksi air tanah dilakukan secara besar-besaran. Warga yang kondisi perekonomiannya lebih baik, mampu menggali sumurnya lebih dalam dan menggunakan pompa air dengan kekuatan hisap yang lebih besar. Kelangkaan air juga dialami pada air permukaan. Debit air sungai sudah menurun. Kuantitas air sungai yang semula diharapkan menjadi andalan sebagai sumber air baku, sudah menurun.

Dampak memburuknya pasokan air bersih di dunia yang terjadi atau diprediksikan akan terjadi di masa mendatang antara lain ditunjukkan oleh data yang dilansir WWF pada 2007: Pada pertengahan abad ini, tujuh milyar jiwa di 60 negara mungkin akan menghadapi kelangkaan air (setidaknya dua milyar di 48 negara saat ini sudah menghadapinya). Lebih dari 1,5 miliar jiwa tidak memiliki akses langsung air minum, dan jika pola konsumsi ini terus berlanjut, setidaknya dalam kurun 20 tahun mendatang kira2 hampir populasi setengah penduduk dunia akan tinggal di daerah aliran sungai yang kritis.  Lima juta jiwa, sebagian besar anak-anak, meninggal setiap tahun karena penyakit karena mengkonsumsi air berkualitas buruk.

Apakah permasalahan air bersih ini tidak dapat diselesaikan? Menurut UNESCO (1978), volume total air dunia sebesar ± 1,8 milyar kilometer kubik, dan sekitar 11 juta meter kubik air tawar berada di permukaan dan dalam tanah, dan itu yang bisa kita manfaatkan saat ini. Sebagian besar sisanya adalah air laut. Jika dikatakan air tawar sudah mengalami krisis saat ini, maka sebenarnya masih terdapat air laut yang masih bisa dimanfaatkan.   Arab Saudi, Bahrain dan Kuwait telah memanfaatkan air laut untuk dijadikan air bersih dengan menggunakan teknologi Desalinasi Air laut (desalinasi thermal) telah lama digunakan di Arab Saudi, Bahrain, Kuwait. Tetapi metode ini sangat boros energi. Kini beberapa negara juga sudah menggunakan teknologi yang lebih baru, yakni menggunakan metode reverse osmosis. Dengan teknologi ini, Israel sudah dapat memproduksi air tawar sebanyak 16.000 liter per detik. Contoh lain negara yang menggunakan teknologi ini adalah Singapura. Negara ini berupaya membebaskan ketergantungan pasokan air yang selama ini  bergantung kepada Malaysia. Spanyol juga sudah memiliki instalasi desalinasi yang dapat memproduksi total 32.000 liter per detik air tawar.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan luasnya wilayah laut dan kecenderungan pemanfaatan air laut, dan teknologinya sudah tersedia, mestinya sudah bisa keluar dari masalah ini. Tapi kapan ya..?

Banjir Jakarta dan Ketahanan Nasional
Ir. Sawarendro, M.Sc.*

Musim kemarau baru saja berlalu. Namun, begitu musim hujan tiba, beberapa sungai langsung meluap, seolah-olah memberikan pesan dini  pada warga Jakarta. Penyebabnya,  apalagi kalau tidak guyuran hujan, terutama  yang terjadi di daerah hulu.  Menyiapkan diri  jika  luapan yang lebih besar  datang  adalah reaksi positif yang harus dilakukan masyarakat untuk menyikapi pesan tersebut.

Bagi warga ibukota dan pemerintah, antisipasi terhadap keadaan darurat banjir memang masih diperlukan dalam beberapa tahun ke depan. Secara teknis, penyelesaian masalah banjir tak bisa tuntas hanya dalam beberapa tahun, perlu visi dan kepemimpinan yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan yang telah melilit Jakarta berpuluhpuluh tahun ini.

Wacana yang dikembangkan  bahwa banjir Jakarta bisa diselesaikan dalam 3 sampai 5 tahun masa kepemimpinan adalah tidak realistis jika dilihat dalam tinjuan teknis, sosial dan fakta yang ada. Isu banjir Jakarta menjadi salah satu titik kritis, di mana pemerintah harus memberi penjelasan tentang apa yang direncanakan dan sedang dilakukan kepada masyarakat. Jika tidak, tentu isu bisa berkembang menjadi liar.

Tidak hanya  di Jakarta,  di banyak kota-kota besar di dunia  yang menjadi pusat ekonomi, industri  maupun  pemerintahan,  banjir besar sering kali  memberi dampak politis  berupa tekanan kepada pemerintah yang berkuasa.  Seperti yang pernah dialami  Yinluck Sinawatra, Perdana Menteri Thailand, saat Bangkok dan beberapa wilayah lain tergenang air pada akhir Oktober 2014. Nasibnya bak diujung tanduk. Bencana yang menewaskan  562  jiwa dan kerugian mencapai  33 miliar dollar Amerika Serikat adalah banjir terburuk selama lima puluh tahun terakhir ini.

Masih lekat dalam ingatan kita ketika  Jakarta luluh lantak digenangi banjir pada tahun 2007 lalu. Banjir terburuk dalam sejarah ibukota ini menurut data yang dikeluarkan oleh Bappenas-UNDP, menewaskan 79 orang,  590.407 orang mengungsi dan 145.742 rumah terendam. Banjir  itu,  memangkas pertumbuhan ekonomi hingga 0,53 %,  sebagai akibat dari kerugian yang diderita dengan nilai sekitar 205 juta dolar  US.

Jakarta sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan memiliki tiga kerentanan jika digulung banjir: kerentanan fisik, sosial dan ekonomi. Kerentanan fisik berkaitan dengan banyaknya bangunan dan prasarana, kerentanaan sosial berkaitan dengan kepadatan penduduk dan kepekaan sosial, sedangkan  kerentanan ekonomi lebih pada menurunnya PDRB per sektor ekonomi. Melihat kerentanan tersebut, gampang sekali individu-individu di Jakarta terpukul gara-gara genangan air dalam jumlah besar. 

Partisipasi menjadi kunci sukses 
Meski ada hasilnya,  penanganan masalah banjir kelihatan masih tergopoh-gopoh berlomba  dengan meningkatnya permasalahan. Penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut menjadi tantanagan baru. Pemerintah kelihatannya mempunyai kemampuan terbatas untuk masalah yang kompleks dan berat ini, baik dalam hal pendanaan maupun sumberdaya manusia.  

Masyarakat harus berperan tidak hanya saat tanggap darurat saja, tapi juga dalam perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan banjir,  setidaknya dalam skala kawasan. Warga turut bertanggungjawab terhadap upaya-upaya yang harus dilakukan dalam membebaskan wilayahnya dari genangan air.  Pemerintah harus bisa menjelaskan apa yang sudah mereka perbuat dan tahapan-tahapan mana  yang masih membutuhkan waktu. Disamping mengharapkan dukungan masyarakat, disisi lain pemerintah juga harus terbuka menunjukan visi dan keseriusannya menyelesaikan masalah banjir. 

Ketika banjir benar-benar datang masyarakat bisa secara obyektif menilai apakah pemerintah memang sudah bekerja atau belum. Warga tidak akan  gampang terprovokasi isu-isu liar yang mengarah kepada kerusakan yang lebih besar.

*Penulis adalah pengamat dari ILWI (Indonesian land reclamation and watermanagement Insitute), sebuah lembaga  kajian yang bergerak dalam bidang reklamasi, pengelolaan air dan pengendalian banjir serta penulis buku „Sistem Polder dan Tanggul Laut‟ dan “Memasuki Era Tanggul Laut, Harapan Baru di Teluk Jakarta” 
Sumber Air Baku Untuk Air Minum
Prof. Dr. Ir. Djoko M. Hartono 
Guru Besar Ilmu Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, 
Universitas Indonesia

Air merupakan zat yang luar biasa sebagai rahmat dari Allah SWT. Air dapat mengalir, bergolak, berputar melalui  berbagai hambatan terhadap aliran yang dilalui. Keberadaan air di alam ini sangat tergantung kepada lingkungan alam sekitarnya dan daerah yang dilaluinya,   yang secara terus menerus mengalir mengikuti  siklus hidrologi atau siklus air yang bergerak dari laut ke daratan dan kembali lagi ke lautan dan seterusnya.

Proses siklus hidrologi atau siklus air  yang meliputi evaporasi, kondensasi, presipitasi, dan infiltrasi yang menyebabkan terjadinya pergerakan aliran air. Tumbuhan dan tanaman memegang peranan penting dalam proses transpirasi demikian juga energi matahari memegang peranan dalam  proses evaporasi. Air dapat terpengaruh oleh wilayah dan aktivitas yang ada yang dilaluinya. Air dapat berwarna jernih di sekitar pegunungan atau berwarna hitam atau pekat di daerah rawa maupun wilayah industri. Air dapat digunakan untuk berbagai kepentingan mulai untuk kebutuhan irigasi, pertanian, kehutanan, industri, pariwisata, air minum dan masih banyak lagi kegiatan yang dapat memanfaatkan air untuk berbagai keperluan. Di balik keindahannya, air juga merupakan sumber konflik, terutama untuk masalah pembagian air di daerah-daerah  maupun negara-negara yang tidak mempunyai cukup sumber air, khususnya untuk pertanian dan air minum.  Air juga dapat berlebih di sebagian daerah, sehingga terjadi banjir dan sebagian lainnya dapat mengalami kekeringan karena kekurangan air.

Salah satu sebab terjadinya kejadian tersebut adalah adanya aktivitas manusia yang berlebihan, misalnya penggundulan hutan. Laporan dari ICCSR, Bappenas 2010, tentang keseimbangan air, menggambarkan bahwa ketersediaan air di wilayah Kalimantan dan Papua masih menunjukkan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Di Indonesia masalah air ini sangat penting, sehingga setidaknya ada 16 kementerian dan lembaga yang mempunyai kepentingan  dalam masalah air ini.  Untuk keperluan air minum, maka sumber air baku yang dapat digunakan untuk kebutuhan air minum dapat terdiri dari mata air, air permukaan (sungai, danau, waduk, dll.), air tanah (sumur gali, sumur bor) maupun air hujan.  Dari segi kualitas air, kualitas  mata air relatif jernih

dibandingkan dengan kualitas sumber air dari air permukaan pada umumnya, dengan demikian mata air lebih baik digunakan dibandingkan dengan air permukaan. Namun demikian keberadaan mata air ini pada saat ini terus berkurang keberadaannya. Air tanah, yang umumnya mempunyai kandungan besi dan mangan relatif lebih besar dari sumber air yang lain, pemakaiannya  juga sudah harus mulai dikurangi atau dihentikan sehubungan dengan masalah penurunan muka tanah. Air hujan yang keberadaannya sangat tergantung musim, masih dapat digunakan sebagai sumber air baku dengan membangun tangki penampungan atau waduk dalam skala besar. 

Air permukaan sebagai sumber air baku, pada saat ini masih menjadi pilihan instalasi pengolahan air minum PDAM. Walaupun dari segi kualitas air, merupakan yang terburuk dibandingkan dengan sumber air baku lainnya. Namun dari segi kuantitas dan kontinuitas masih tersedia dalam jumlah banyak dibandingkan dengan ke 3 (tiga) sumber air baku yang lain. Walaupun demikian, untuk menghasilkan air permukaan ini menjadi air minum, diperlukan instalasi pengolahan agar air dapat diminum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persoalannya adalah kualitas air permukaan sekarang ini cenderung menurun, baik karena adanya limbah cair yang berupa limbah domestik maupun limbah industri, serta sampah. Peningkatan pencemaran air permukaan sudah sangat tinggi, dibandingkan ketika instalasi pengolahan air minum PDAM yang dibangun pada 30 atau 40  tahun yang lalu dengan kondisi kualitas air yang ada pada saat itu. Untuk itu perlu lebih ditingkatkan sosialisasi agar masyarakat dan industri tidak membuang limbah cair maupun sampah ke air permukaan.

Pengawasan terhadap badan air perlu  lebih ditingkatkan kalau perlu dilakukan tindakan yang berupa denda atau hukuman agar kualitas air permukaan menjadi lebih baik lagi. Jika kualitas air permukaan menjadi lebih baik, kemampuan instalasi pengolahan untuk mengolah air menjadi optimum, dengan demikian masyarakat yang menikmati air minum akan mendapat pelayanan yang lebih baik,  yang akan mendorong pertambahan masyarakat yang ingin mendapat pelayanan air minum yang baik.
Teknologi Pengolahan Air Bersih
Aries R. Prima – Engineer Weekly
Krisis ketersediaan air bersih di musim kemarau panjang tahun lalu seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan pihak terkait agar tidak terjadi lagi di masa mendatang. Teknologi pengolahan air bersih yang sudah banyak tersedia bisa dimanfaatkan, termasuk teknologi yang telah diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum di medio 2012. Teknologi ini diklaim dapat memercepat peningkatan akses sanitasi dan mengatasi kelangkaan air, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Teknologi pertama adalah instalasi pengolahan air limbah Grey Water Bio Rotasi, yang terdiri dari sistem bio filter dan taman sanitasi dengan resirkulasi yang dapat mengolah air limbah rumah tangga untuk digunakan kembali menjadi air bersih. Teknologi kedua, mirip dengan yang pertama, mendaur ulang air limbah untuk menjadi air bersih, yang cocok digunakan di rumah susun, dan juga dapat digunakan untuk menyaring air limbah sehingga tidak mencemari jika dibuang ke sungai. Namun, teknologi ini membutuhkan ruang yang besar. Untuk di tempat yang tidak tersedia ruang besar, dapat digunakan teknologi ketiga, yaitu Merealis.

Selain teknologi untuk air bersih, kementerian itu menciptakan teknologi untuk memproduksi air siap minum yang dinamakan Merotek dan Instalasi Pengelolaan Air (IPA) Mobile. Merotek menggunakan sistem membran ultrafiltrasi airlift dan membran reverse osmosis tekanan rendah. Sedangkan IPA Mobile dibuat lebih kompak dengan menggunakan teknologi yang sama dengan Merotek, sehingga cocok digunakan di daerah rawan air baku atau daerah bencana. Metode yang umum dilakukan dalam pengambilan air laut adalah dengan memasang pipa yang menjorok beberapa kilometer dari pantai untuk mendapatkan kualitas air laut yang baik, dan dilakukan dengan dengan kecepatan yang rendah untuk mencegah terikutnya biota laut. Metode yang lain adalah dengan menggunakan sistem sumur. 

Desalinasi Air Laut
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumberdaya air laut yang besar untuk diolah menjadi air bersih atau air minum. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah Desalinasi Air laut dengan tahapan: pengambilan air laut, pengolahan awal, proses pemisahan garam, dan pengolahan akhir. Setelah itu, dilakukanlah pengolahan awal untuk membersihkan air laut dari bahan ‘pengotor’, seperti molekul makro dan mikro. Kemudian dilakukan proses penyisihan garam, bisa berbasis panas dan berbasis membran. Penambahan mineral dilakukan pada tahap pengolahan akhir agar dihasilkan produk air bersih dengan kualitas air minum.

Teknologi ini masih terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih agar seluruh prosesnya dapat menjadi ramah lingkungan, hemat energi, dan yang terpenting, murah. Segi kualitas air, kualitas  mata air relatif jernih dibandingkan dengan kualitas sumber air dari air permukaan pada umumnya, dengan demikian mata air lebih baik digunakan dibandingkan dengan air permukaan. Namun demikian keberadaan mata air ini pada saat ini terus berkurang keberadaannya. Air tanah, yang umumnya mempunyai kandungan besi dan mangan relatif lebih besar dari sumber air yang lain, pemakaiannya  juga sudah harus mulai dikurangi atau dihentikan sehubungan dengan masalah penurunan muka tanah. Air hujan yang keberadaannya sangat tergantung musim, masih dapat digunakan sebagai sumber air baku dengan membangun tangki penampungan atau waduk dalam skala besar.  Air permukaan sebagai sumber air baku, pada saat ini masih menjadi pilihan instalasi pengolahan air minum PDAM. Walaupun dari segi kualitas air, merupakan yang terburuk dibandingkan dengan sumber air baku lainnya. Namun dari segi kuantitas dan kontinuitas masih tersedia dalam jumlah banyak dibandingkan dengan ke 3 (tiga) sumber air baku yang lain. Walaupun demikian, untuk menghasilkan air permukaan ini menjadi air minum, diperlukan instalasi pengolahan agar air dapat diminum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persoalannya adalah kualitas air permukaan sekarang ini cenderung menurun, baik karena adanya limbah cair yang berupa limbah domestik maupun limbah industri, serta sampah. Peningkatan pencemaran air permukaan sudah sangat tinggi, dibandingkan ketika instalasi pengolahan air minum.

PDAM yang dibangun pada 30 atau 40  tahun yang lalu dengan kondisi kualitas air yang ada pada saat itu. Untuk itu perlu lebih ditingkatkan sosialisasi agar masyarakat dan industri tidak membuang limbah cair maupun sampah ke air permukaan.  Pengawasan terhadap badan air perlu  lebih ditingkatkan kalau perlu dilakukan tindakan yang berupa denda atau hukuman agar kualitas air permukaan menjadi lebih baik lagi. Jika kualitas air permukaan menjadi lebih baik, kemampuan instalasi pengolahan untuk mengolah air menjadi optimum, dengan demikian masyarakat yang menikmati air minum akan mendapat pelayanan yang lebih baik,  yang akan mendorong pertambahan masyarakat yang ingin mendapat pelayanan air minum yang baik.

Engineer Weekly

Pelindung: A. Hermanto Dardak, Heru Dewanto Penasihat: Bachtiar Siradjuddin Pemimpin Umum: Rudianto Handojo, Pemimpin Redaksi: Aries R. Prima, Pengarah Kreatif: Aryo Adhianto, Pelaksana Kreatif: Gatot Sutedjo,Webmaster: Elmoudy, Web Administrator: Zulmahdi, Erni Alamat: Jl. Bandung No. 1, Menteng, Jakarta Pusat Telepon: 021- 31904251-52. Faksimili: 021 – 31904657. E-mail: info@pii.or.id